Senin, 07 Juli 2014

Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), jika kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan melakukan perbuatan tersebut dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki tersebut.

Namun, halnya berbeda jika salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak (lihat Pasal 284 KUHP).

Selain itu, jika perbuatan tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak, maka pelakunya dapat diancam pidana karena  pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jika perbuatan tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak, maka pelakunya dapat diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”):

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dengan asumsi bahwa wanita berusia 17 tahun dan pria berusia 20 tahun saat melakukan hubungan suami istri, maka berarti, wanita tersebut masih berusia di bawah 18 tahun sehingga masih dikategorikan sebagai anak sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu, pria tersebut dapat dituntut pidana berdasarkan Pasal 81 UU Perlindungan Anak meski wanita tersebut tidak sampai hamil.


Mengenai bisakah hasil tes DNA digunakan untuk menjeratpacar, kita merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menambah frasa dalam Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

Berdasarkan putusan MK tersebut, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat membuat teman kos Anda tidak dapat memungkiri bahwa dia memiliki hubungan darah dan hubungan keperdataan dengan anak yang Anda kandung. Lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Pro Kontra Status Anak Luar Kawin, Putusan MK Semata Melindungi Anak Luar Kawin dan Hak Mewaris Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK.

Di sisi lain, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menegaskan bahwa putusan MK ini dibuat semata untuk memberikan perlindungan keperdataan anak luar kawin atas ayah biologisnya. Mengenai penetapan silsilah keturunan dan termasuk masalah waris, kemudian diserahkan kepada aturan yang lebih spesialis seperti KHI dan KUHPerdata. Lebih jauh simak artikel Putusan MK “Tak Bermanfaat” Untuk Anak Luar Kawin.

Jadi, pada dasarnya hasil tes DNA ini hanya untuk membuktikan kebenaran bahwa janin yang Anda kandung adalah anak dari pacar Anda. Anda tidak dapat menuntut pacar Anda supaya dihukum karena menghamili Anda meskipun menggunakan hasil tes DNA.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3.      Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar